Memilih Pemimpin, Memilih Tempe



Memilih pemimpin?. Ah, rasanya saya kok belum mampu untuk memilih pemimpin, apalagi memilih pemimpin suatu organisasi segedhe negara. Ini serius, sangat serius. Soal memilih orang yang kita percayai untuk menjadi pimpinan masyarakat ini jangan pernah main-main. Apalagi sembrono.

Memilih tempe

Saya punya banyak analogi. Salah satunya adalah memilih tempe. Anda patut berterima kasih kepada istri Anda karena selama ini kebutuhan gizi di rumah terpenuhi. Soal memilih makanan ini saja mereka selektifnya minta ampun. Biasanya mereka beli dari pedagang yang sudah punya reputasi bagus soal mutu. Itupun masih dipilih-dipilih, jangan sampai keliru milih, bagian atas kelihatannya bagus belum tentu belaiknya mulus, dibolak-balik, dipastikan tidak busuk atau tidak ada jamur, setelah yakin baru diputuskan dibeli. 

Bahkan, agar 100% yakin, mereka merasa perlu untuk melakukan perbandingan. Mereka lihat dulu barang dagangan dari penjual lain di kanan kiri. Harganya, mutunya, semua aspek. Ya ampun, ini baru cuma sekedar milih tempe.

Pemimpin adalah anugerah terbesar dari Tuhan

Tuhan selalu mengawali membangun suatu masyarakat dengan menciptakan seorang pemimpin terlebih dulu. Peran pemimpin teramat vital demi mewujudkan “misi” Tuhan di bumi. Sayangnya, semakin ke sini kita semakin lupa bahwa pemimpin pilihan Tuhan sejatinya adalah pemimpin yang hakiki, pemimpin yang sebenar-benarnya pemimpin, yang kredibilatasnya tak perlu diragukan lagi demi memimpin manusia menuju ketentraman dunia dan akhirat.

Sayangnya lagi, kita juga tidak sadar telah disetir sedemikian rupa dan cara pandang kita dibolak-balikkan bahwa pemimpin agama tak sama bahkan tak layak jadi  pimpinan masyarakat.  Agama ya agama, dunia ya dunia. “Produk” Tuhan tak lagi laku untuk urusan dunia karena tidak mutakhir, tidak up to date.  Kedaulatan di tangan rakyat, lalu dimana kedaulatan Tuhan? Suara rakyat suara Tuhan, Oh.. Tuhan disamakan dan disejajarkan dengan rakyat padahal rakyat bermacam-macam mutunya. Gendheng tenan, hanya orang bodoh yang membuat perbandingan dengan objek banding yang sama sekali tidak sepadan.

Kewajiban sebanding dengan kemampuan

Haji hukumnya wajib kalau mampu, kalau tidak mampu ya tidak wajib. Puasa wajib kalau mampu, kalau tidak mampu ya tidak wajib bahkan orang sakit dilarang berpuasa. Coba anak Anda yang masih berumur 5 tahun Anda suruh angkat lemari besi seberat 25 kilo, itu namanya Anda nggak waras. 

Kalau Anda merasa mampu memilih pemimpin maka kewajiban memilih pemimpin berlaku atas diri Anda. Mampu yang saya maksud di sini adalah Anda tahu benar siapa yang akan Anda pilih, intelektualitasnya, kepeduliannya, kemampuannya, track record-nya, mutunya, perilakunya, akhlaknya, setelah itu dilakukan perbandingan dengan calon pemimpin yang lain, plus minusnya ditimbang.

Saya tidak yakin semua orang memiliki kemampuan untuk memilih pemimpin dengan cara yang tertib seperti ini. Mbok-mbok penjual jamu, tukang ojek, kuli bangunan, sopir angkot, tukang sayur, TKI, TKW, penjual nasi goreng, sopir bajai, petani, buruh lepas, pengangguran, preman napi, dan seterusnya, apakah mereka memiliki kapasitas dalam memilih pemimpin yang dampaknya sangat serius terhadap kehidupan banyak orang?

Saya tidak sedang secara sepihak memandang sebelah mata kepada orang-orang ini tapi saya ingin mengatakan begini, 

“Wahai saudara-saudaraku yang setiap hari enegi dan pikiran Anda sudah terkuras sedemikan rupa untuk memikirkan bagaimana mencari uang demi bertahan hidup, kalau Anda tidak mampu dan tidak memenuhi kriteria untuk memilih pemimpin maka Anda tidak wajib memilih." 

Memilih dengan cara yang sembarang apalagi sembrono apalagi hanya karena dijanjikan akan diberi ini dan itu, akan dibangunkan ini dan itu, sampai ada yang bersumpah-sumpah dengan nama Tuhan hanya akan membuat bangsa kita semakin bertambah runyam urusannya dan semakin kelam masa depannya. 

Pemimpin harus yang seagama?
Lebih penting mana, atau, manakah yang lebih menjamin, identitas atau substansi? bungkus atau isi?, casing atau mutu?, pakaian atau perbuatan? 
Substansi agama adalah perilaku. Inti dari semua nilai dan ajaran yang dibawa oleh semua agama adalah takut, tunduk, dan menjadikan Tuhan sebagai supremasi dalam diri setiap orang. 

Haji boleh 13 kali tapi jika perilakunya busuk ya apalah artinya peci  dan sorban putih  atau gelar haji itu. Panggilannya boleh ustadz, pastor, rahib, biksu, kyai, gus, habib, pendeta, biawaran tapi kalau tidak menjunjung tinggi misi Tuhan untuk membawa kemaslahatan atau ketentraman kepada umat ya tidak ada artinya semua gelar itu.

Saya bisa kasih Anda ratusan contoh tentang betapa identitas sama sekali tidak memberikan jaminan apapun terhadap substansi dari identitas tersebut. Salah satunya, coba Anda tanya kepada koruptor-koruptor pemakan uang negara itu, KTPnya Islam, namanya nyantri karena diserap dari bahasa arab tanda bahwa mereka lahir dari keturunan orang Islam, partainya pakai atribut-atribut dan lambang-lambang keagamaan, tapi toh tetap saja mau makan uang yang bukan hak mereka. 

Orang yang beragama adalah orang yang takut dan tunduk kepada Tuhan apapun identitas agamanya. Sekali lagi, identitas tidak memberikan jaminan apapun, saya harap Anda tidak mudah tertipu dengan tampilan, ucapan, namun saya juga tidak menyarankan Anda gelap mata memilih orang-orang yang jelas-jelas tidak menunjukkan nilai ketuhanan dalam perilaku  mereka.

Setelah saya pikir dan pertimbangkan masak-masak kemampuan saya dalam memilih pemimpin atau wakil rakyat, akhirnya saya memutuskan bahwa saya mampu untuk tidak memilih. 


@Bekasi, April 4, 2014

Comments

Popular posts from this blog

Mengembalikan Fungsi Trotoar

Arti kata Solicit dan contoh penggunaannya dalam kalimat